
Dalam seleksi calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024–2029, sejumlah nama yang lolos seleksi mendapat sorotan tajam. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan catatan kritis terhadap beberapa pejabat KPK yang lolos. Kedua lembaga ini menilai ada potensi konflik kepentingan, pelanggaran etik, dan masalah integritas yang perlu mendapat perhatian serius dalam proses seleksi capim.
Catatan PBHI Terhadap Pejabat KPK
Johanis Tanak: Dugaan Pelanggaran Etik
Salah satu nama yang mendapat perhatian PBHI adalah Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK yang turut lolos seleksi capim. PBHI menyoroti dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan Johanis Tanak. Dalam catatannya, PBHI mengungkapkan bahwa Johanis pernah melakukan pertemuan dengan mantan Komisaris PT WiKa Beton Tbk, yang tengah menjadi tersangka kasus suap di Mahkamah Agung. Selain itu, Johanis diduga mengirimkan pesan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan pejabat Kementerian ESDM yang juga sedang diperiksa oleh KPK.
Menurut PBHI, dugaan ini sangat merugikan citra lembaga antikorupsi. Pasalnya, seorang pimpinan KPK harus bebas dari segala bentuk konflik kepentingan dan tindakan yang dapat merusak integritas lembaga tersebut.
Pahala Nainggolan: Dugaan Penyalahgunaan Wewenang
Selanjutnya, PBHI juga mengkritik Pahala Nainggolan, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK. PBHI menilai Pahala terlibat dalam dugaan penyalahgunaan wewenang yang mencoreng reputasi KPK. Pada 2017, Pahala diduga mengeluarkan surat yang menguntungkan PT GDE dan merugikan PT BGE terkait proyek panas bumi. Surat tersebut, menurut PBHI, dapat dipandang sebagai tindakan yang mencurigakan dan berpotensi merugikan banyak pihak. Kasus ini bahkan sempat ditangani oleh Bareskrim Mabes Polri.
PBHI menekankan bahwa masalah ini perlu diselidiki lebih lanjut karena jika terbukti, tindakan Pahala bertentangan dengan komitmen KPK untuk memberantas korupsi.
Wawan Wardiana: Kontroversi Pernyataan tentang Koruptor
Wawan Wardiana, Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, juga menjadi sorotan PBHI. Pada 2020, Wawan pernah menyebut koruptor sebagai “penyintas” dalam sebuah acara penyuluhan di Lapas Sukamiskin, Bandung. Pernyataan ini menimbulkan kontroversi karena bisa disalahartikan sebagai bentuk pengampunan terhadap pelaku korupsi. Lebih lanjut, Wawan juga berencana melibatkan mantan koruptor sebagai penyuluh di beberapa lembaga pemasyarakatan, yang dianggap sebagai langkah yang tidak tepat oleh PBHI.
Kontroversi ini menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan sikap yang kurang sensitif terhadap citra KPK dalam melawan korupsi.
Pesan ICW untuk Proses Seleksi Capim KPK
Peringatan terhadap Rekam Jejak Pejabat KPK
ICW juga memberikan catatan penting terkait pemilihan pimpinan KPK yang akan datang. ICW menegaskan bahwa proses seleksi harus dilakukan secara objektif dan transparan. Lembaga ini mengingatkan agar tidak ada lagi penunjukan pimpinan yang memiliki rekam jejak bermasalah, seperti halnya Firli Bahuri dan Lili P. Siregar. Kedua pejabat tersebut sebelumnya tersangkut kasus pelanggaran etik dan dugaan korupsi yang menurunkan kredibilitas KPK.
ICW juga mengingatkan agar pansel capim KPK tidak hanya melihat kapasitas teknis calon pimpinan, tetapi juga integritas moral dan etika calon yang diusulkan. Pemimpin KPK yang terpilih harus bebas dari pengaruh politik atau kepentingan pribadi yang dapat merusak komitmen pemberantasan korupsi.
Proses Seleksi yang Transparan
ICW berharap agar pansel capim KPK melakukan seleksi dengan keterbukaan penuh. Seluruh rekam jejak calon pimpinan, termasuk kasus-kasus yang melibatkan mereka sebelumnya, harus dipertimbangkan dengan cermat. ICW menekankan bahwa pemilihan pimpinan KPK yang bebas dari intervensi politik akan memastikan kelanjutan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Harapan terhadap Integritas Pimpinan KPK yang Terpilih
Seleksi yang Berbasis pada Integritas
Proses seleksi yang transparan dan berbasis pada integritas akan sangat mempengaruhi masa depan. PBHI dan ICW sepakat bahwa hanya pimpinan yang memiliki rekam jejak bersih dan bebas dari konflik kepentingan yang dapat mengembalikan marwah sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang efektif. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengawasi proses seleksi ini agar hasilnya benar-benar mencerminkan harapan publik.
yang Bebas dari Korupsi dan Intervensi
Dengan seleksi yang adil dan objektif, diharapkan dapat melanjutkan perannya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pimpinan yang terpilih harus mampu bekerja dengan profesional tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik, serta memiliki komitmen yang kuat untuk memberantas segala bentuk praktik korupsi di negara ini.
Proses seleksi pimpinan adalah momen penting yang menentukan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. PBHI dan ICW memberikan perhatian besar terhadap integritas calon pimpinan yang terpilih. Seiring dengan itu, masyarakat diharapkan turut mengawasi dan memastikan bahwa pimpinan yang dipilih memiliki rekam jejak bersih, bebas dari konflik kepentingan, dan mampu membawa menjadi lembaga yang lebih kuat dan profesional dalam memerangi korupsi.