Pemerintah Indonesia merencanakan konversi 20 juta hektar hutan untuk pengembangan lahan pangan dan energi. Kebijakan ini diambil untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mendukung produksi energi terbarukan. Namun, langkah ini menuai kritik tajam karena berpotensi merusak ekosistem hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati.
Kerusakan Ekosistem dan Kehilangan Keanekaragaman Hayati Hutan
Alas Indonesia adalah rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, termasuk yang terancam punah seperti harimau Sumatra, orangutan, dan badak Jawa. Konversi lahan secara masif akan menghancurkan habitat mereka, memicu kepunahan spesies secara besar-besaran. Kehilangan ini juga mengganggu keseimbangan ekosistem yang mendukung rantai makanan, pengaturan air, dan siklus karbon.
Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca
Penggundulan hutan untuk lahan pangan dan energi akan mempercepat pelepasan karbon dioksida ke atmosfer. Alas tropis, sebagai penyerap karbon alami, memiliki peran vital dalam menahan laju pemanasan global. Tanpa perlindungan yang memadai, emisi dari pembakaran lahan dan deforestasi akan bertentangan dengan target Indonesia dalam Perjanjian Paris.
Dampak Sosial dan Ekonomi
- Konflik Agraria
Lahan yang direncanakan untuk dikonversi seringkali mencakup wilayah adat. Hal ini memicu konflik antara masyarakat adat dan perusahaan besar, mengancam keberlangsungan budaya lokal. - Kerugian Ekonomi Jangka Panjang
Meskipun menghasilkan keuntungan instan, kerusakan ekosistem dapat mengakibatkan kerugian besar dalam jangka panjang. Penurunan kualitas tanah, erosi, dan banjir akan merugikan sektor pertanian dan infrastruktur.
Kekhawatiran atas Energi Terbarukan
Ironisnya, konversi hutan untuk energi terbarukan seperti biofuel dapat merusak lingkungan. Tanaman seperti kelapa sawit sering digunakan untuk bioenergi, tetapi produksi skala besar menyebabkan penggundulan hutan, memperburuk perubahan iklim alih-alih mengatasinya.
Solusi Alternatif Hutan yang Berkelanjutan
- Pemanfaatan Lahan Terdegradasi
Alih-alih merambah hutan, pemerintah dapat memanfaatkan lahan kritis yang sudah tidak produktif untuk pengembangan pangan dan energi. - Teknologi Pertanian Modern
Meningkatkan produktivitas pangan dengan teknologi canggih, seperti pertanian vertikal dan irigasi pintar, dapat mengurangi kebutuhan pembukaan lahan baru. - Diversifikasi Energi Terbarukan
Investasi dalam energi surya, angin, dan geothermal lebih ramah lingkungan dibanding biofuel berbasis tanaman.
Konversi 20 juta hektar alas untuk pangan dan energi memiliki dampak buruk yang sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat. Solusi jangka panjang yang berkelanjutan harus menjadi prioritas, bukan eksploitasi hutan secara masif. Perlindungan hutan tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati, tetapi juga memastikan keberlanjutan kehidupan di masa depan.