
Isu terkait sertifikat di atas laut telah memicu kontroversi besar di kawasan pesisir Sidoarjo dan Sumenep. Penemuan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di Sidoarjo dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Sumenep yang diterbitkan di atas laut atau pesisir berpotensi merusak ekosistem lokal. Proses penerbitan sertifikat ini banyak dipertanyakan karena dapat berdampak buruk terhadap masyarakat pesisir dan ekosistem laut. Artikel ini akan mengupas masalah ini, dampaknya, serta langkah yang diperlukan untuk menanggulanginya.
Sertifikat HGB di Laut Sidoarjo
Penerbitan sertifikat HGB di atas laut di Sidoarjo menimbulkan protes dari berbagai pihak. Sertifikat HGB ini diterbitkan atas nama dua perusahaan properti yang mengklaim wilayah laut seluas 656 hektar sejak 1996. Citra satelit menunjukkan bahwa area ini sebenarnya adalah lautan yang tidak pernah berupa daratan sejak 2002. Hal ini menunjukkan bahwa penerbitan HGB di atas laut melanggar aturan yang berlaku di Indonesia, di mana HGB hanya dapat diberikan pada tanah yang jelas statusnya sebagai daratan.
Masalahnya menjadi lebih kompleks ketika dilihat dari segi regulasi. Pemerintah Indonesia melarang penerbitan sertifikat di atas perairan atau wilayah yang tidak memiliki fungsi daratan. Dengan adanya sertifikat ini, perusahaan bisa saja memanfaatkan lahan laut untuk kepentingan pribadi, yang pada gilirannya bisa merusak keseimbangan ekosistem laut. Apalagi, kawasan laut di sekitar Sidoarjo sudah mulai terancam oleh aliran sedimentasi dan aktivitas manusia yang terus menerus merusak habitat alami.
Dampak Terhadap Masyarakat dan Ekosistem Laut
Dampak dari penerbitan sertifikat di atas laut ini jelas merugikan masyarakat pesisir dan keberlanjutan ekosistem laut. Wilayah pesisir adalah rumah bagi ribuan nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada laut. Ketika lahan di atas laut diberikan sertifikat kepada perusahaan, maka ruang untuk aktivitas nelayan menjadi terbatas. Warga pun kehilangan akses ke wilayah yang mereka kelola dan manfaatkan selama bertahun-tahun.
Ekosistem laut juga terancam oleh aktivitas reklamasi yang dapat terjadi setelah sertifikat tersebut diterbitkan. Pembangunan yang mengikuti proses reklamasi atau pembangunan lain di kawasan pesisir dapat merusak terumbu karang, padang lamun, dan habitat ikan. Semua elemen ini sangat penting untuk menjaga kesehatan laut dan biodiversitas yang ada di sekitarnya. Hilangnya ruang hidup bagi spesies laut berdampak langsung pada kualitas ekosistem secara keseluruhan.
Sertifikat SHM di Pesisir Sumenep
Di Sumenep, ditemukan SHM yang diterbitkan untuk lahan pesisir seluas 20 hektar. Sertifikat ini terbit atas nama individu, dan menambah kompleksitas masalah yang ada. Di wilayah tersebut, masyarakat setempat mengelola wilayah pesisir untuk kegiatan nelayan, namun dengan adanya sertifikat yang diterbitkan, mereka kini harus berhadapan dengan potensi kehilangan akses ke laut.
Rencana reklamasi untuk kepentingan pembangunan ekonomi semakin memperburuk keadaan. Warga pesisir menentang keras reklamasi yang direncanakan, karena dinilai merugikan mereka secara langsung. Aktivitas reklamasi bisa menggusur tempat tinggal bagi ikan dan biota laut lainnya. Terlebih lagi, nelayan tradisional yang sudah lama mengandalkan hasil laut untuk hidup terancam kehilangan mata pencaharian.
Permasalahan Hukum dan Sosial
Sengketa hukum terkait sertifikat di atas laut di Sidoarjo dan Sumenep menambah panjang deretan masalah terkait pengelolaan tanah dan ruang pesisir di Indonesia. Banyak warga yang melakukan upaya hukum untuk membatalkan sertifikat-sertifikat yang diterbitkan di atas laut atau pesisir. Mereka mengajukan gugatan kepada pemerintah dan lembaga yang berwenang, meminta agar sertifikat tersebut tidak sah atau dicabut.
Namun, hingga kini, upaya hukum yang dilakukan warga masih menemui hambatan. Ombudsman RI, misalnya, menolak pengaduan warga di Sumenep terkait penerbitan SHM tersebut. Sebagian besar lembaga yang terlibat dalam pemeriksaan kasus ini belum memberikan keputusan yang menguntungkan bagi masyarakat lokal. Hal ini memunculkan rasa ketidakadilan yang mendalam, karena warga merasa hak mereka untuk mengelola ruang pesisir telah dilanggar.
Evaluasi Kebijakan Pertanahan Pesisir
Kasus sertifikat yang diterbitkan di atas laut menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pertanahan Indonesia. Penerbitan sertifikat tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem dan dampaknya terhadap masyarakat pesisir sangat berisiko. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertanahan, khususnya di kawasan pesisir dan laut. Penegakan hukum yang lebih ketat dalam pengelolaan wilayah pesisir akan sangat membantu mencegah kerusakan yang lebih parah.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sangat penting. Tanpa partisipasi aktif dari warga pesisir, kebijakan yang diambil berisiko hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan kehidupan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga swadaya sangat diperlukan untuk menciptakan pengelolaan wilayah pesisir yang lebih berkelanjutan.
Kesimpulan
Kasus sertifikat yang diterbitkan di atas laut di Sidoarjo dan Sumenep merupakan contoh nyata bagaimana pengelolaan pertanahan yang tidak tepat bisa merusak ekosistem laut dan mengancam mata pencaharian masyarakat pesisir. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi dalam kebijakan pertanahan, dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Penegakan hukum yang lebih tegas terhadap sertifikat yang tidak sah dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan adalah langkah-langkah penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada ekosistem pesisir Indonesia.